Rabu, 07 Desember 2016

KRISIS PENDIDIKAN DI INDONESIA BERDASARKAN RISET INTERNASIONAL



      Dalam beberapa riset internasional, pendidikan di Indonesia mengalami krisis dengan hasil pendidikan yang konsisten berada di peringkat bawah. Pemerintah mengkaji secara serius untuk menemukan masalah mendasar yang terjadi di lapangan, termasuk di dalam ruang kelas.

        Elin Driana seorang praktisi pendidikan yang mendalami bidang riset dan evaluasi di Jakarta mengatakan bahwa hasil-hasil riset internasional yang penting seperti PISA dan TIMSS, Indonesia secara konsisten berada di bawah dalam kemampuan di bidang matematika, sains dan membaca. Apa yang terjadi di lapangan merupakan produk kebijakan pendidikan    yang    memang           banyak   masalah.

     Akhir minggu lalu, Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaksanakan diskusi dengan topik “ Wajah Pendidikan Indonesia”. Ahmad Muchlis selaku pengajar Matematika di ITB mengatakan rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia dalam matematika dan sains berimplikasi pada tataran individu dan kolektif. Contohnya saja dalam memilih perangkat teknologi. Secara individu lebih memilih pada tampilan dan harga dibandingkan dengan kegunaannya. Secara kolektif terjadi ketergantungan teknologi sehingga sulit memecahkan masalah kesehatan dan lingkungan.

       Pendidikan Indonesia masih lemah dalam menghasilkan seorang yang berilmu dan berinovasi dalam menciptakan lapangan kerja. Pemerintah sendiri melalui pendidikan seharusnya bisa merencanakan kebutuhan peneliti, professional, pekerja, perencana, pemelihara, eksekutor, operator dan entrepreneur. Wayan Mesinario seorang alumni ITB yang bergerak di bidang energi dan sumber daya mineral (ESDM) mengakui sulitnya mencari pelaku di bidang bisnis ESDM. Perguruan tinggi diharapkan mampu mengarahkan mahasiswa yang potensi-potensinya luar biasa dan bukan sekadar hanya berani menjadi pekerja.

Selain itu, seorang alumni ITB lainnya, Apriliana, mengatakan krisisnya pendidikan di Indonesia dinilai juga akibat kondisi guru yang belum berkualitas sebagai fondasi utama. Abah Rama, alumni ITB yang mendalami pemetaan talenta, menambahkan, saat ini hanya sedikit sekali guru yang memiliki passion dan talenta. Dari 1.400 guru di DKI Jakarta hanya 25 persen yang benar-benar bertalenta menjadi guru. Masalah seperti ini juga perlu diperhatikan. Dalam pendidikan dewasa ini yang terutama adalah kompetensi sikap. Setelah itu disusul dengan keahlian dan pengetahuannya, tergantung pekerjaan. Selanjutnya tidak kalah penting adalah mengembangkan kemampuan dan talenta masing-masing orang untuk menyiapkan pemimpin atau entrepreneur.

   Mantan Rektor ITB yang sekarang menjabat sebagai Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan, Djoko Santoso, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia ini menghadapi tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu untuk berpikir dan bukan hanya sekadar ingin cepat lulus lalu mendapat gaji besar. Selain itu tantangan untuk mengembangkan sains, teknik dan pertanian yang mampu mendorong kemajuan bangsa juga dihadapi oleh Indonesia.
Djoko pun menambahkan, menjadi seorang guru lebih dianggap sebagai pekerjaan dibandingkan dengan panggilan dari hati. Tidak heran guru sekarang ini mengalami krisis kehilangan ‘keguruannya’. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat mendorong keras lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk lebih meningkatkan kualitasnya. (SM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar