BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal-hal
kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan
hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci
,objek pembahasan Ushul fiqih ialah dalil-dalil syara’ .Hukum syari’ ialah
khithab pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang
mukallaf ,yang mengandung suatu tuntunan ,atau pilihan yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab,syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain .hukum syari’
dibagi menjadi dua macam yaitu hukum takifli dan hukum wad’i. dalam makalah ini
kami akan sedikit ,membahas tentang Hukum wad’i.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian hukum Wadh’i?
2. Apa
pengertian dari Sabab (sebab)?
3. Sebutkan
bagian-bagian dari Sabab?
4. Apa
pengertian dari Syarat?
5. Sebutkan
bagian-bagian dari Syarat?
7. Apa
penegrtian dari Shah?
8. Apa
pengertian dari Bathal?
9. Apa
pengertian dari Fasid?
C.
Tujuan Masalah
1.Mengetahui pengertian hukum wadh’i
2.Mengetahui pengertian sebab
3.Mengetahui bagian-bagian sebab
4.Mengetahui pengertian syarat
5.Mengetahui bagian-bagian syarat
6.Mengetahui pengertian dan pembagian Mani’
7.Mengetahui pengertian Shah
8.Mengetahui pengetian Bathal
9.Mengetahui Pengertian Fasid
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
wadh’i.
Hukum
wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab,sebagai syarat,atau sebagai
mani’ .
Dalam
pengantar terdahulu disebutkan bahwa Titah Allah yang berhubungan dengan
tingkah laku Mukallaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk berbuat
atau tidak berbuat dinamakan hukum Taklifi. Titah Allah yang berhubungan dengan
sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum Taklifi itu disebut hukum Wadh’i.
Hukum Wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa
berbentuk ketententuan-ketentuanyang ada kaitannya dengan perbuatan Mukallaf
yang dinamakan hukum Taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk Sebab dan yang
diberi sebab atau Syarat dan
yang diberi dikenakan halangan. Dengan demikian, hukum Wadh’i itu ada tiga macam, yaitu: Sabab
(sebab), Syarat, dan Mani’.
Kelangsungan
suatu hukum Taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut. Bila sesuatu perbuatan
yang dituntut ada Sebabnya, juga telah memenuhi syarat-syaratnya dan telah
terhindar dari segala Mani’ (penghalang), maka perbuatan itu dinyatakan sudah
memenuhi ketentuan hukum.
Ditinjau
dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan tiga hal di
atas, para ahli memasukkan kedalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu: shah,
fasid, bathal.[1]
A.
Sebab
a) Pengertian
Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu
yang menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”.menurut istilah Ushul
fiqih ,sperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan,Sebab berarti :
Yaitu :sesuatu yang dijadikan syariat
sebagai tanda bagi adanya hukum ,dan tidakadanya sebab sebagai tanda bagi tidak
adanya hukum.
Misalnya,tindakan perzinaan menjadi
sebab atau alasan bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya ,keadaan gila
menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya,dan tindakan perampokan
sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada
pemiliknya.
·
Sebab yang bukan merupakan perbuatan
mukalaf dan berada diluar kemampuannya.Namun demikian,sebab itu mempunyai
hubungan dengan hukum taklifi,karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan
bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang mukalaf
.Misalnya,tergelincir matahari menjadi sebab (alasan)bagi datangnya waktu
shalat zuhur,masuknya bulan ramadhan menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban
melakukan puasa ramadhan,dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya
seseorang memakan sesuatu yang diharamkan/
·
Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf
dan dalam batas kemampuannya.Misalnya,perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya
berbuka puasaramadhan,pembunuhan sengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukuman
qisas atas pelakunya.dan akad transaksi jual beli menjadi sebab bagi
perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.sebab yang merupakan
perbuatan mukalaf ini berlaku padana ketentuan-ketentuan hukum taklifi.Oleh
sebab itu,diantaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan,seperti perintah
melakukan akad nikah ketika khawatir akan menjadi perzinaan,diantaranya ada
yang dilarang seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman
hukuman ,dan ada pula yang mubah ,sperti boleh melakukan akad jual beli sebagai
sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.[3]
c) . perbedaan antara sebab dan ‘illat
Abdul
Karim Zaidan menjelaskan perbedaan dan persamaan antar sebab dan ‘illat
.sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri
dari dua bentuk.bentukpertama antara tanda(sebab)dengan sesuatu yang ditandai
(musabab)nmempunyai hubungan logis ,dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal
pikiran hubungan antara keduanya,dan bentuk kedua hubungan diantara keduanya
tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran atau logika.
Bentuk
peryama diatas ,disamping disebut sebagai sebab ,juga disebut ‘illat ,sedangkan
bentuk yang kedua hanya disebut sebab.contoh bentuk pertama ,perjalanan adalah
sebab dan juga ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa pada siang hari bulan
Ramadhan,dan keadaan memabukkan menjadi sebab atau ‘illat bagi haramnya meminum
khamar.sedangkan contoh bentuk kedua,yaitu sebab bukan illat seperti[4]
terbenamnya matahari menjadi sebab bagi wajub melaksanakan shalat magribh dan
terbut fajar menjadi sebab bagi masuk waktu sholat shubuh.[5]
Pada
sebab semacam ini.allah menjadikan terbenam matahari sebagai tanda bagi
masuknya waktu shalat magrib dan terbit fajar anda baginya masuknya waktu
sholat shubuh,tanpa ada hubungan logis antara peristiwa terbenam dan terbit
fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat.
B.
Syarat
a. Pengertian
Syarat
Menurut bahasa kata
syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuat yang lain”atau “sebagai
tanda “.menurut istilah Ushul fiqih ,seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan
,Syarat adalah :
Artinya: Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain dan berada
diluar dari hakikat sesuatu itu
Misalnya wuduh sebagai sebagai syarat
bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung adanya wudhu,namun
pelaksaan udhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan
shalat.sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad
nikah,namun kedua orang saksi itu merupakan bagian dari akad nikah.yang disebut
terakhir ini adalah rukun.disinilah perbedaan antara syarat dan rukun.rukun
sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya,namun
antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah
misalnya,seperti dikemukakan diatas ,bukan bagian dari hakikat suatu
ibadah.berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu rukun shalat ,dan
keadaan berdiri itu adalah bagian dari
hakikat pelaksanaan shalat.
b. Pembagian
Syarat
Para Ulama Ushul fiqih membagi syarat
menjadi dua macam yaitu :
·
Syarat Syar’I yaitu syarat yang datang
langsung dari syariat sendiri.Misalnya,keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur
pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir ) bagi seorang anak yatim dijadikan
oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya
sebagaimana firman allah :[6]
Artinya : dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) ,maka
serahkanlah kepada mereka harta hartanya.dan janganlah kamu makan hart anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesea-gesa
membelanjakannya sebelum mereka dewasa .barang siapa
diantara pemelihara itu maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak
yatim itu dan barang siapa miskin,maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut .kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka,maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi tentang penyerahan itu bagi mereka.dan cukuplah allah sebgai
pengawas (atas persaksian itu).(Q.S.An-Nisa’/3: 6)
Syarat
Ja’ly yaitu syarat yang datang dari kemauan orang yang mukalaf itu sendiri
.misalnya seseorang seorang suami berkata pada istrinya “jika engkau memasuki
rumah si fulan,maka jatuhlah talakmu satu “dan seperti pernyataan seseorang
bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarjan utang si fulan dengan syarat
si fulan itu tidsak mampu membayar utangnya itu.[7]
C. Mani’
a). Pengertian Mani’
kata
mani’ secara etimonologi berarti “penghalang dari sesuatu “.secara
terminology,seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan kata mani’ berarti
artinya : sesuatu yang ditetapkan
syariat sbagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya
suatu sebab.
Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana
telah mencukupi syarat syaratnya danakad yang sah itu mempunyai akibat hukum
selama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’) .misalnya,akad perkawinan
yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris
mewarisi .tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan
suami misalnya telah membunuh istrinya.tindakan pembunuhandalam contoh tersebut
adalah mani’ (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrinya.dalam sebuah
hadist dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
b).
Pembagian Mani’
Para
ushul fiqih membagi mani’ menjadi dua macam :
·
Mani’Al-Hukm yaitu sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.Misalnya,keadaan haid
bagi wanita ditetapkan allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita
itu untuk melakukan shalat,dan oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya
pada waktu haid.[8]
Artinya
: Dari Aisyah Sesungguhnya Ada Seseorang Wanita Yang Bertanya Kepadanya Apakah
Seorang Wanita Yang Sedang Haid Harus Mengqadha Sholat ,Aisyah Berkata: Anda
Terbebas,Sebab Dimasa Nabi Saw .Kami Pernah Haid Dan Setelah Cuci Beliau Tidak
Menyuruh Mengqadha Shalat .(HR.Ibnu Majjah).
·
Mani’ al-Sabab yaitu sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab sehingga
dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.Contohnya ,bahwa
sampainya harta minimal satu nisab,maka dalam kajian fiqih keadaan berutang
itu,membagi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya
sudah tergolong orang kaya.namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang
dimana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya menjadi nisab.maka dalam
kajian fiqih keberadaan berutang itu menjkadi mani’ atau penghalang bagi wajib
zakat pada harta yang dimilikinya itu.dalam hal ini keadaan seseorang dalam
berutang itu ,telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya sehingga tidak
lagi dikenakan kewajiban zakat harta. [9]
D.
Shah
Pengertian
Shah ( )_yang dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah “Sah”_digunakan secara mutlak dengan dua
pandangan:
a. Dimaksud
dengan Shah bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau
dengan arti perbuatan itu mempunyai arti secara hukum.
Ibadah itu dikatakan
Shah, dalam arti perbuatan ibadah itu dianggap telah memadai dan telah
melepaskan orang yang melakukannya dari tanggung jawabnya terhadap Allah SWT.
Dan telah menggugurkan dari kewajiban Qadha dalam hal-hal yang dapat di Qadha.
Demikian pula dalam hal
Muamalah atau Akad; ia dikatakan Shah bila secara hukum ia telah menghasilkan
peralihan milik dan menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan yang
sebelumnya diharamkan, atau bolehnya mengambil manfaat dari sesuatu yang
diakadkan.
b. Kedua
dimaksud dengan “Shah” bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh
atau arti untuk kehidupan Akhirat; seperti berhaknya
atas pahala dari Allah SWT. Bila dikatakan perbuatan itu Shah berarti bila
hasil perbuatan itu diharapkan mendapat pahala di Akhirat.
Baik
dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau akhirat, maka suatu
perbuatan dikatakan Shah bila perbuatan itu dilakukan sesudah ada sebab,
terpenuhi rukun dan telah terhindar dari segala bentuk Mani’. Umpamanya dalam ibadah
sholat sudah masuk waktu yang menyebabkan perbuatan itu wajib, terpenuhi Syarat
dan rukunnya, serta yang mengerjakannya terbebas dari hal-hal yang menghalangi,
maka[10]
sholat itu dinamakan telah Shah. Karena itu diharapkan mendapat pahala dan
kewajibannya sudah terpenuhi (diselesaikan).
Dalam
muamalah, umpamanya jual beli, telah terpenuhi syarat Shah, lengkap rukun dan
syaratnya dan tidak ada hal-hal yang tidak menghalanginya, maka jual beli itu
dikatakan Shah dan secara hukum hak milik sudah berpindah tangan dari si
penjual kepada si pembeli.[11]
E.
Bathal
Bathal
( )_yang dalam bahasa Indonesia
disebut dengan istilah “Batal”_yaitu kebalikan dari Shah. Bathal juga mempunyai
dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa kata Bathal itu digunakan:
1. Bathal
digunakan untuk arti “tidak berbekasnya
perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan di dunia”. Arti ini berbeda dalam
ibadat dengan muamalah dan akad. Arti Bathal dalam ibadat adalah bahwa ibadat
itu tidak memadai dan belum melepaskan
tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban Qadha. Ibadat dikatakan
Bathal bila menyalahi tujuan Syari’ (pembuat hukum) dalam menetapkan amalan
itu. Menyalahi maksud Syara’itu kadang-kadang mengenai materi ibadat itu
sendiri_seperti tidak cukup rukun dan syaratnya_atau terdapat Mani’.
Kadang-kadang mengenai sifat luar yang terlepas darinya, seperti Sholat
dilakukan ditempat yang dirampas. Dalam bentuk yang terlepas ini Sholat
dipandang Shah karena telah sesuai dengan maksud Syari’.
2. Bathal
digunakan untuk “tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di Akhirat,
yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya bekas dari perbuatan bisa terjadi
dalam beberapa kemungkinan sebagai berikut:
a) Perbuatan
itu dilakukan tanpa sengaja seperti perbuatan orang tidur. Perbuatan dalam
bentuk ini tidak berhubungan dengan tuntutan maupun pilihan berbuat. Pelaku
dalam bentuk ini tidak berdosa dan tidak berpahala; karena balasan akhirat
hanya berlaku terhadap perbuatan yang termasuk dalam taklif. Hal-hal yang
termasuk dan berkaitan dengan tuntutan taklif tidak akan menghasilkan bekas apa
pun.
b) Perbuatan
itu dilakukan hanya semata-mata mencari mencari tujuannya yaitu pahala. Bentuk
ini pun tidak akan mendapat pahala. Demikian pula semua perbuatan meninggalkan
larangan secara tabi’it (alamiah) dan buka dengan niat atau dengan kesengajaan.
Umpamanya ia tidak mencuri karena memang tidak ada yang akan di curi.
c) Perbuatan
itu dilakukan dengan sesuai dengan yang
di kehendaki tapi dalam bentuk keterpaksaan. Umpamanya zakat yang diambil dari
wajib zakat terpaksa. Perbuatan ini dalam tinjauan pertama adalah Shah karena
berlaku menurut rukun dan syarat; tetapi menurut tinjauan kedua adalah Bathal
(batal)
karena dilakukan tanpa Niat.[12]
d) Perbuatan
itu dilakukan dengan yang di kehendaki dalam bentuk Ikhtiyari seprti seseorang
melakukan sesuatu perbuatan Mubah sesudah di ketahuinya bahwa itu Mubah, hingga
kalau sifatnya tidak Mubah tentu tidak akan dilakukannya.[13]
F.
Fasid
Fasid
( ) adalah juga kebalikan dari
Shah. Istilah ini tidak berlaku dikalangan Ulama jumhur karena bagi mereka,
fasid mempunyai arti yang sama dengan Bathal_baik dalam Bidang Ibadat maupun
Muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku dikalangan Ulama Hanafiyah; itupun
hanya dalam bidang Mu’alamat, tidak dalam bidang Ibadat. Artinya, dalam bidang
Muamalah ini ada perbedaan antara Fasid dengan Bathal.
Dengan
demikian, terdapat kesamaan pendapat dalam hal pernamaan Bathal dengan Fasid
dalam Ibadat, yaitu: “suatu perbuatanyang dilakukan tidak memenuhi Rukun dan
Syarat, atau belum berlaku sebab atau terdapat Mani’.
Dalam
bidang Akad atau Muamalah terdapat kesepakatan Ulama dalam penggunaan arti Shah
yaitu: “suatu Akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan
tidak terdapat padanya halangan apa pun”. Tetapi dalam menetapkan hukum tidak
Shah terdapat perbedaan pendapat.
Menurut
ulama jumhur akad yang tidak Shah itu hanya ada satu macam; tidak berbeda
antara Bathal dan Fasid_baik kekurangan pada rukun maupun pada syarat atau
sifatnya.
Menurut
Ulama Hanafiyah bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada rukun dari suatu
Akad, perbuatan itu disebut Bathal dan tidak memberi bekas apa-apa; karena
tidak terdapat sebab, dan dengan dirinya tidak membawa akibat hukum. dalam
perkawinan umpamanya, tidak ada salah satu pihak yang berakad.
Bila
kekurangan atau kesalahan terdapat pada salah satu syarat di antara syarat yang
berkaitan dengan hukum disebut Nasid. Dalam bentuk ini perbuatan dapat
berlangsung karena telah menghasilkan sebagian bekasnya dengan telah adanya
sebab bagi hukum itu. Tetapi karena tidak sempurna, maka harus disempurnakan
kemudian dalam Nikah umpamanya belum terdapat Mahar. Akad Nikah dapat
berlangsung tetapi sesudah itu Suami harus memberikan Mahar kepada Istrinya.
Dasar
perbedaan pendapat antara Jumhur Ulama dengan Ulama Hanafiyah ialah:
1.
Larangan menurut Jumhur Ulama
menghalangi pengaruh dari suatu Akad;
2.
Tidak terdapat yang ditetapkan Syari’
untuk mengakibatkan suatu hukum, mencegah adanya akibat itu. Adapun menurut
pandangan Hanafiyah larangannya itu
kecuali bila larangan itu mengenai hakikat pokok pada perbuatan yang dilarang
sedangkan ketiadaan syarat yang menghalangi akibat hukum adalah syarat yang
melengkapi sebab, bukan semua syarat.[14]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum
wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab,sebagai syarat,atau sebagai
mani’ .
Dalam
pengantar terdahulu disebutkan bahwa Titah Allah yang berhubungan dengan
tingkah laku Mukallaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk berbuat
atau tidak berbuat dinamakan hukum Taklifi. Titah Allah yang berhubungan dengan
sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum Taklifi itu disebut hukum Wadh’i.
Hukum Wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa
berbentuk ketententuan-ketentuanyang ada kaitannya dengan perbuatan Mukallaf
yang dinamakan hukum Taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk Sebab dan yang
diberi sebab atau Syarat dan
yang diberi dikenakan halangan. Dengan demikian, hukum Wadh’i itu ada tiga macam, yaitu: Sabab
(sebab), Syarat, dan Mani’.
Kelangsungan
suatu hukum Taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut. Bila sesuatu perbuatan
yang dituntut ada Sebabnya, juga telah memenuhi syarat-syaratnya dan telah
terhindar dari segala Mani’ (penghalang), maka perbuatan itu dinyatakan sudah
memenuhi ketentuan hukum.
Ditinjau
dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan tiga hal di
atas, para ahli memasukkan kedalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu: shah,
fasid, bathal.
B.
Saran
Dari
hasil penyusunan makalah ini, kami berharap kepada teman-teman untuk lebih
banyak lagi membaca dan mencari refrensi lain agar memperoleh pengetahuan atau
refrensi yang lebih luas.kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
makalah ini selanjutnya akan lebih baik, karena makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Syarifudin
Amir.2008.Ushul Fiqih jilid 1.(Jakarta:Frenada
Media Group)
Ø
Efendi
Satria.2005.Ushul Fiqih.(Jakarta:Fajar
Interpratama)
[1] Syarifudin Amir,Ushul
Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.113.
[2] Efendi Satria,Ushul
Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.62.
[4] Efendi Satria,Ushul
Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.63.
[5]Efendi Satria,Ushul
Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.64.
[6] Efendi Satria,Ushul
Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.65.
[8] Efendi Satria,Ushul
Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.66.
[9] Efendi Satria,Ushul
Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.67.
[10] Syarifudin Amir,Ushul
Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.127.
[12] Syarifudin Amir,Ushul
Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.129.
[14] Syarifudin Amir,Ushul
Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar