Jumat, 09 Desember 2016

HUKUM WAD'I DALAM USHUL FIQIH



    




   
         BAB I
PENDAHULUAN 

A.    Latar Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal-hal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci ,objek pembahasan Ushul fiqih ialah dalil-dalil syara’ .Hukum syari’ ialah khithab pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf ,yang mengandung suatu tuntunan ,atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain .hukum syari’ dibagi menjadi dua macam yaitu hukum takifli dan hukum wad’i. dalam makalah ini kami akan sedikit ,membahas tentang Hukum wad’i.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum Wadh’i?
2.      Apa pengertian dari Sabab (sebab)?
3.      Sebutkan bagian-bagian dari Sabab?
4.      Apa pengertian dari Syarat?
5.      Sebutkan bagian-bagian dari Syarat?
6.      Apa pengertian dan pembagian dari Mani’?
7.      Apa penegrtian dari Shah?
8.      Apa pengertian dari Bathal?
9.      Apa pengertian dari Fasid?

C.     Tujuan Masalah
1.Mengetahui pengertian hukum wadh’i
2.Mengetahui pengertian sebab
3.Mengetahui bagian-bagian sebab
4.Mengetahui pengertian syarat
5.Mengetahui bagian-bagian syarat
6.Mengetahui pengertian dan pembagian Mani’
7.Mengetahui pengertian Shah
8.Mengetahui pengetian Bathal
9.Mengetahui Pengertian Fasid


          BAB II
  PEMBAHASAN
A.    Hukum wadh’i.
Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu  sebagai sebab,sebagai syarat,atau sebagai mani’ .
Dalam pengantar terdahulu disebutkan bahwa Titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku Mukallaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat dinamakan hukum Taklifi. Titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum Taklifi itu disebut hukum Wadh’i. Hukum Wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa berbentuk ketententuan-ketentuanyang ada kaitannya dengan perbuatan Mukallaf yang dinamakan hukum Taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk Sebab dan yang diberi sebab atau Syarat dan yang diberi dikenakan halangan. Dengan demikian,  hukum Wadh’i itu ada tiga macam, yaitu: Sabab (sebab), Syarat, dan Mani’.
Kelangsungan suatu hukum Taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut. Bila sesuatu perbuatan yang dituntut ada Sebabnya, juga telah memenuhi syarat-syaratnya dan telah terhindar dari segala Mani’ (penghalang), maka perbuatan itu dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum.
Ditinjau dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan tiga hal di atas, para ahli memasukkan kedalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu: shah, fasid, bathal.[1]
A. Sebab
a)      Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu yang menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”.menurut istilah Ushul fiqih ,sperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan,Sebab berarti :
 Yaitu :sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda bagi adanya hukum ,dan tidakadanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.

Misalnya,tindakan perzinaan menjadi sebab atau alasan bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya ,keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya,dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
b)      [2]Para ulama ushul fiqih membagi sebab menjadi dua macam yaitu :
·         Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukalaf dan berada diluar kemampuannya.Namun demikian,sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi,karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang mukalaf .Misalnya,tergelincir matahari menjadi sebab (alasan)bagi datangnya waktu shalat zuhur,masuknya bulan ramadhan menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban melakukan puasa ramadhan,dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya seseorang memakan sesuatu yang diharamkan/
·         Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf dan dalam batas kemampuannya.Misalnya,perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasaramadhan,pembunuhan sengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukuman qisas atas pelakunya.dan akad transaksi jual beli menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.sebab yang merupakan perbuatan mukalaf ini berlaku padana ketentuan-ketentuan hukum taklifi.Oleh sebab itu,diantaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan,seperti perintah melakukan akad nikah ketika khawatir akan menjadi perzinaan,diantaranya ada yang dilarang seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman ,dan ada pula yang mubah ,sperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.[3]

c)      .  perbedaan antara sebab dan ‘illat
Abdul Karim Zaidan menjelaskan perbedaan dan persamaan antar sebab dan ‘illat .sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk.bentukpertama antara tanda(sebab)dengan sesuatu yang ditandai (musabab)nmempunyai hubungan logis ,dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara keduanya,dan bentuk kedua hubungan diantara keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran atau logika.
Bentuk peryama diatas ,disamping disebut sebagai sebab ,juga disebut ‘illat ,sedangkan bentuk yang kedua hanya disebut sebab.contoh bentuk pertama ,perjalanan adalah sebab dan juga ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa pada siang hari bulan Ramadhan,dan keadaan memabukkan menjadi sebab atau ‘illat bagi haramnya meminum khamar.sedangkan contoh bentuk kedua,yaitu sebab bukan illat seperti[4] terbenamnya matahari menjadi sebab bagi wajub melaksanakan shalat magribh dan terbut fajar menjadi sebab bagi masuk waktu sholat shubuh.[5]
Pada sebab semacam ini.allah menjadikan terbenam matahari sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat magrib dan terbit fajar anda baginya masuknya waktu sholat shubuh,tanpa ada hubungan logis antara peristiwa terbenam dan terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat.

B. Syarat
a. Pengertian Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuat yang lain”atau “sebagai tanda “.menurut istilah Ushul fiqih ,seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan ,Syarat adalah :
 
Artinya: Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain dan berada diluar dari hakikat sesuatu itu

Misalnya wuduh sebagai sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung adanya wudhu,namun pelaksaan udhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat.sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad nikah,namun kedua orang saksi itu merupakan bagian dari akad nikah.yang disebut terakhir ini adalah rukun.disinilah perbedaan antara syarat dan rukun.rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya,namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah misalnya,seperti dikemukakan diatas ,bukan bagian dari hakikat suatu ibadah.berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu rukun shalat ,dan keadaan berdiri  itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat.     
b.      Pembagian Syarat
Para Ulama Ushul fiqih membagi syarat menjadi dua macam yaitu :
·         Syarat Syar’I yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri.Misalnya,keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir ) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya sebagaimana firman allah :[6]
Artinya : dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) ,maka serahkanlah kepada mereka harta hartanya.dan janganlah kamu makan hart anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesea-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa .barang siapa diantara pemelihara itu maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan barang siapa miskin,maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut .kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka,maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi tentang penyerahan itu bagi mereka.dan cukuplah allah sebgai pengawas (atas persaksian itu).(Q.S.An-Nisa’/3: 6)
Syarat Ja’ly yaitu syarat yang datang dari kemauan orang yang mukalaf itu sendiri .misalnya seseorang seorang suami berkata pada istrinya “jika engkau memasuki rumah si fulan,maka jatuhlah talakmu satu “dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarjan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidsak mampu membayar utangnya itu.[7]
C. Mani’
a). Pengertian Mani’
kata mani’ secara etimonologi berarti “penghalang dari sesuatu “.secara terminology,seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan kata mani’ berarti
artinya : sesuatu yang ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
     Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat syaratnya danakad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’) .misalnya,akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi .tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya.tindakan pembunuhandalam contoh tersebut adalah mani’ (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrinya.dalam sebuah hadist dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
b). Pembagian Mani’
Para ushul fiqih membagi mani’ menjadi dua macam :
·         Mani’Al-Hukm yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.Misalnya,keadaan haid bagi wanita ditetapkan allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat,dan oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada waktu haid.[8]
Artinya : Dari Aisyah Sesungguhnya Ada Seseorang Wanita Yang Bertanya Kepadanya Apakah Seorang Wanita Yang Sedang Haid Harus Mengqadha Sholat ,Aisyah Berkata: Anda Terbebas,Sebab Dimasa Nabi Saw .Kami Pernah Haid Dan Setelah Cuci Beliau Tidak Menyuruh Mengqadha Shalat .(HR.Ibnu Majjah).
·         Mani’ al-Sabab yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.Contohnya ,bahwa sampainya harta minimal satu nisab,maka dalam kajian fiqih keadaan berutang itu,membagi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya.namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya menjadi nisab.maka dalam kajian fiqih keberadaan berutang itu menjkadi mani’ atau penghalang bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu.dalam hal ini keadaan seseorang dalam berutang itu ,telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta. [9]
D. Shah
Pengertian Shah (        )_yang dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah “Sah”_digunakan secara mutlak dengan dua pandangan:
a.       Dimaksud dengan Shah bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu mempunyai arti secara hukum.
Ibadah itu dikatakan Shah, dalam arti perbuatan ibadah itu dianggap telah memadai dan telah melepaskan orang yang melakukannya dari tanggung jawabnya terhadap Allah SWT. Dan telah menggugurkan dari kewajiban Qadha dalam hal-hal yang dapat di Qadha.
Demikian pula dalam hal Muamalah atau Akad; ia dikatakan Shah bila secara hukum ia telah menghasilkan peralihan milik dan menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan yang sebelumnya diharamkan, atau bolehnya mengambil manfaat dari sesuatu yang diakadkan.
b.      Kedua dimaksud dengan “Shah” bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh
atau arti untuk kehidupan Akhirat; seperti berhaknya atas pahala dari Allah SWT. Bila dikatakan perbuatan itu Shah berarti bila hasil perbuatan itu diharapkan mendapat pahala di Akhirat.
Baik dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau akhirat, maka suatu perbuatan dikatakan Shah bila perbuatan itu dilakukan sesudah ada sebab, terpenuhi rukun dan telah terhindar dari segala bentuk Mani’. Umpamanya dalam ibadah sholat sudah masuk waktu yang menyebabkan perbuatan itu wajib, terpenuhi Syarat dan rukunnya, serta yang mengerjakannya terbebas dari hal-hal yang menghalangi, maka[10] sholat itu dinamakan telah Shah. Karena itu diharapkan mendapat pahala dan kewajibannya sudah terpenuhi (diselesaikan).
Dalam muamalah, umpamanya jual beli, telah terpenuhi syarat Shah, lengkap rukun dan syaratnya dan tidak ada hal-hal yang tidak menghalanginya, maka jual beli itu dikatakan Shah dan secara hukum hak milik sudah berpindah tangan dari si penjual kepada si pembeli.[11]
E. Bathal
Bathal (           )_yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “Batal”_yaitu kebalikan dari Shah. Bathal juga mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa kata Bathal itu digunakan:
1.      Bathal digunakan untuk  arti “tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan di dunia”. Arti ini berbeda dalam ibadat dengan muamalah dan akad. Arti Bathal dalam ibadat adalah bahwa ibadat itu  tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban Qadha. Ibadat dikatakan Bathal bila menyalahi tujuan Syari’ (pembuat hukum) dalam menetapkan amalan itu. Menyalahi maksud Syara’itu kadang-kadang mengenai materi ibadat itu sendiri_seperti tidak cukup rukun dan syaratnya_atau terdapat Mani’. Kadang-kadang mengenai sifat luar yang terlepas darinya, seperti Sholat dilakukan ditempat yang dirampas. Dalam bentuk yang terlepas ini Sholat dipandang Shah karena telah sesuai dengan maksud Syari’.
2.      Bathal digunakan untuk “tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di Akhirat, yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya bekas dari perbuatan bisa terjadi dalam beberapa kemungkinan sebagai berikut:
a)      Perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja seperti perbuatan orang tidur. Perbuatan dalam bentuk ini tidak berhubungan dengan tuntutan maupun pilihan berbuat. Pelaku dalam bentuk ini tidak berdosa dan tidak berpahala; karena balasan akhirat hanya berlaku terhadap perbuatan yang termasuk dalam taklif. Hal-hal yang termasuk dan berkaitan dengan tuntutan taklif tidak akan menghasilkan bekas apa pun.
b)      Perbuatan itu dilakukan hanya semata-mata mencari mencari tujuannya yaitu pahala. Bentuk ini pun tidak akan mendapat pahala. Demikian pula semua perbuatan meninggalkan larangan secara tabi’it (alamiah) dan buka dengan niat atau dengan kesengajaan. Umpamanya ia tidak mencuri karena memang tidak ada yang akan di curi.
c)      Perbuatan itu dilakukan dengan sesuai dengan  yang di kehendaki tapi dalam bentuk keterpaksaan. Umpamanya zakat yang diambil dari wajib zakat terpaksa. Perbuatan ini dalam tinjauan pertama adalah Shah karena berlaku menurut rukun dan syarat; tetapi menurut tinjauan kedua adalah Bathal (batal)
karena dilakukan tanpa Niat.[12]



d)     Perbuatan itu dilakukan dengan yang di kehendaki dalam bentuk Ikhtiyari seprti seseorang melakukan sesuatu perbuatan Mubah sesudah di ketahuinya bahwa itu Mubah, hingga kalau sifatnya tidak Mubah tentu tidak akan dilakukannya.[13]
F. Fasid
Fasid (             ) adalah juga kebalikan dari Shah. Istilah ini tidak berlaku dikalangan Ulama jumhur karena bagi mereka, fasid mempunyai arti yang sama dengan Bathal_baik dalam Bidang Ibadat maupun Muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku dikalangan Ulama Hanafiyah; itupun hanya dalam bidang Mu’alamat, tidak dalam bidang Ibadat. Artinya, dalam bidang Muamalah ini ada perbedaan antara Fasid dengan Bathal.
Dengan demikian, terdapat kesamaan pendapat dalam hal pernamaan Bathal dengan Fasid dalam Ibadat, yaitu: “suatu perbuatanyang dilakukan tidak memenuhi Rukun dan Syarat, atau belum berlaku sebab atau terdapat Mani’.
Dalam bidang Akad atau Muamalah terdapat kesepakatan Ulama dalam penggunaan arti Shah yaitu: “suatu Akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak terdapat padanya halangan apa pun”. Tetapi dalam menetapkan hukum tidak Shah terdapat perbedaan pendapat.

Menurut ulama jumhur akad yang tidak Shah itu hanya ada satu macam; tidak berbeda antara Bathal dan Fasid_baik kekurangan pada rukun maupun pada syarat atau sifatnya.
Menurut Ulama Hanafiyah bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada rukun dari suatu Akad, perbuatan itu disebut Bathal dan tidak memberi bekas apa-apa; karena tidak terdapat sebab, dan dengan dirinya tidak membawa akibat hukum. dalam perkawinan umpamanya, tidak ada salah satu pihak yang berakad.
Bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada salah satu syarat di antara syarat yang berkaitan dengan hukum disebut Nasid. Dalam bentuk ini perbuatan dapat berlangsung karena telah menghasilkan sebagian bekasnya dengan telah adanya sebab bagi hukum itu. Tetapi karena tidak sempurna, maka harus disempurnakan kemudian dalam Nikah umpamanya belum terdapat Mahar. Akad Nikah dapat berlangsung tetapi sesudah itu Suami harus memberikan Mahar kepada Istrinya.
Dasar perbedaan pendapat antara Jumhur Ulama dengan Ulama Hanafiyah ialah:
1.      Larangan menurut Jumhur Ulama menghalangi pengaruh dari suatu Akad;
2.      Tidak terdapat yang ditetapkan Syari’ untuk mengakibatkan suatu hukum, mencegah adanya akibat itu. Adapun menurut pandangan Hanafiyah  larangannya itu kecuali bila larangan itu mengenai hakikat pokok pada perbuatan yang dilarang sedangkan ketiadaan syarat yang menghalangi akibat hukum adalah syarat yang melengkapi sebab, bukan semua syarat.[14]


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu  sebagai sebab,sebagai syarat,atau sebagai mani’ .
Dalam pengantar terdahulu disebutkan bahwa Titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku Mukallaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat dinamakan hukum Taklifi. Titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum Taklifi itu disebut hukum Wadh’i. Hukum Wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa berbentuk ketententuan-ketentuanyang ada kaitannya dengan perbuatan Mukallaf yang dinamakan hukum Taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk Sebab dan yang diberi sebab atau Syarat dan yang diberi dikenakan halangan. Dengan demikian,  hukum Wadh’i itu ada tiga macam, yaitu: Sabab (sebab), Syarat, dan Mani’.
Kelangsungan suatu hukum Taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut. Bila sesuatu perbuatan yang dituntut ada Sebabnya, juga telah memenuhi syarat-syaratnya dan telah terhindar dari segala Mani’ (penghalang), maka perbuatan itu dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum.
Ditinjau dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan tiga hal di atas, para ahli memasukkan kedalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu: shah, fasid, bathal.
B. Saran
Dari hasil penyusunan makalah ini, kami berharap kepada teman-teman untuk lebih banyak lagi membaca dan mencari refrensi lain agar memperoleh pengetahuan atau refrensi yang lebih luas.kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik, karena makalah ini masih memiliki banyak kekurangan.







DAFTAR PUSTAKA
Ø  Syarifudin Amir.2008.Ushul Fiqih jilid 1.(Jakarta:Frenada Media Group)

Ø  Efendi Satria.2005.Ushul Fiqih.(Jakarta:Fajar Interpratama)


[1] Syarifudin Amir,Ushul Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.113.
[2] Efendi Satria,Ushul Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.62.

[3] Ibid, hal.60

[4] Efendi Satria,Ushul Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.63.
[5]Efendi Satria,Ushul Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.64.
[6] Efendi Satria,Ushul Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.65.
[7] Ibid,hal.65.
[8] Efendi Satria,Ushul Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.66.
[9] Efendi Satria,Ushul Fiqih(Jakarta:Fajar Interpratama,2005).Hal.67.
[10] Syarifudin Amir,Ushul Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.127.
[11] Ibid,Hal.127
[12] Syarifudin Amir,Ushul Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.129.
[13] Ibid,Hal.129.
[14] Syarifudin Amir,Ushul Fiqih jilid 1 .(Jakarta:Frenada Media Group,2008).Hal.130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar