BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Mentalitas
umat Islam Indonesia masa kini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada
1914—lebih 80 tahun yang lalu—ketika D.A Rinkes, Penasihat untuk Urusan
Bumiputera, mengatakan bahwa umat melakukan mistifikasi agama (H. 1083, 35
KITLV), artinya percaya bahwa dengan Islam segalanya akan beres, tetapi tidak
tahu apa yang harus dikerjakan, hanya “ikut arus” kejadian sehari-hari tanpa
tujuan yang jelas. Bisa dipahami kalau dalam dalam waktu yang sama Radjiman
Widiyodipuro—tokoh BU—berpendapat bahwa agama tidak dapat menjadi pengikat
massa, meskipun dapat menjadi daya tarik (indische Gids, 1914, I, 65-66).
Keadaan itu agak tertolong ketika pada 1915 Tjokroaminoto merumuskan sebuah
pra-ideologi dengan mengatakan bahwa “Islam adalah agama bagi orang miskin dan
orang tertindas” (Vb 25-2-1916-49 MR 1572/15).
Sejak
itulah Islam dilihat sebagai ideologi. Tetapi, ideologisasi Islam itu di masa
kini akan merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan apakah
kebangkitan Islam itu tidak dirasakan sebagai ancaman, tetapi sebagai rahmat?
Satu-satunya jalan ialah jalan revitalisasi tradisi keilmuan Islam. Ilmu Islam
yang bagaimana akan menguntungkan umat, bangsa, dan kemanusiaan.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia
b. Ilmu-Ilmu Sosial Profetik
c. Prioritas, Dinamika, dan “Musuh”
C. TUJUAN MASALAH
a. Untuk mengetahui tradisi islam di indonesia
b. Memahami ilmu-ilmu profetik
c. Memahami perioritas, Dinamika, dan Musuh
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia
1. Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia
Salah satu sebab dari keterbelakangan umat ialah tidak nyangkutnya teori dengan praktik, atau ilmu dengan kenyataan. Kita sudah gagal menjadikan ilmu-ilmu Islam sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi umat. Kita hanya menyerahkan perkembangan sejarah umat pada ilmu-ilmu normatif. Ilmu-ilmu sosial yang kita kembangkan hanya membuat orang terasing dengan dirinya sendiri, atau menjadikan orang asing dengan Islam. Itu disebabkan karena ilmu yang kita kembangkan adalah cangkokan, tidak berakar pada masyarakat. Ilmu itu juga menganut dikotomi yang jelas antara fakta dan nilai, mempunyai bias positivis seperti ilmu alam, seolah-olah ilmu sosial itu bebas nilai, objektif, dan murni empiris. Kita malu untuk mengakui keterkaitan ilmu sosial dengan nilai-nilai sosial dan budaya, kita takut dituduh tidak ilmiah, tidak objektif.
Di Barat pun orang sudah lama
ragu-ragu akan ilmu sosial yang “bebas nilai”. Strukturalisme-fungsionalisme
mempunyai bias nilai-nilai masyarakat borjuis yang menginginkan sebuah
equilibrium yang dinamis. Munculnya ilmu sosial Marxis dan Critical Theory
adalah gugatan pada kemapanan ilmu sosial yang ada. Menurut Marx, ilmu itu
tidak hanya memahami gejala-gejala, tetapi harus mempunyai kekuatan mengubah. Setidaknya
ada tiga tradisi keilmuan Islam di Indonesia, yaitu normatif, ideologis, dan
ilmiah.
a. Tradisi Normatif
Ada dua
kemungkinan dalam tradisi ini, yaitu deklaratif dan apologetis. Kemungkinan
untuk perkembangan ilmu yang deklaratif selalu diperlukan untuk dakwah, supaya
pemeluk Islam menjalankan agamanya dengan ilmu, tidak blilu tau (ikut-ikutan).
Sekolah, pesantren, masyarakat, dan banyak orang perguruan di perguruan tinggi
mengembangkan ilmu-ilmu normatif deklaratif. Buku-buku asli dan terjemahan
mengenai tafsir, hadits, tarikh, dakwah, akidah, syariah, akhlak, dan tasawuf
semuanya normatif deklaratif. Islam yang abadi (dari segi waktu) dan universal
(dari segi tempat) dapat dilihat dalam tradisi ini. Maraknya penerbitan
buku-buku Islam, di antaranya Bina Ilmu di Surabaya dan Gema Insani Press di Jakarta,
yang terbanyak juga dalam tradisi ini.
Selain
itu, ciri-ciri apologetis juga menonjol. Seseorang hanya perlu melihat Buku
Islam Sejak Tahun 1945 (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990) untuk mengetahui
masalah ini. Tema yang sering muncul ialah soal wanita, ilmu pengetahuan
sejarah, dan hak-hak asasi. Munculnya tradisi ini jelas disebabkan oleh
karena para Orientalis dan hegemoni Barat selalu mendiskreditkan Islam baik
dalam Ilmu, media massa, maupun politik. Gambaran tentang Islam sebagai
institusi yang ketinggalan zaman bahkan diadopsi oleh orang Islam sendiri.
Inferioritas masih banyak menghinggapi kita, kiranya sebuah gerakan
decolonization of consciosness diperlukan, supaya perkembangan ilmu-ilmu Islam
bukan reaktif, tetapi aktif, duduk sejajar dengan golongan lain. Aktif berperan
dalam sejarah kemanusiaan. Buku-buku Mizan, dapat diambil sebagai contoh
dekolonisasi kesadaran itu.
b. Tradisi Ideologis
Pada tahun
1924 Tjokoroaminoto menerbitkan buku, Islam dan Socialisme (Djakarta: Penerbit
“Bulan Bintang”, 1954). Buku itu jelas-jelas sebagai jawaban atas Marxisme yang
dikembangkan oleh SI-Merah. Buku itu berjasa karena sejak itu ada
internasionalisasi, Islam Indonesia memakai rumusan internasional. Sekalipun
demikian ideologisasi gerakan Islam adalah too late too little, tidak dapat
menandingi Marxisme, karena tidak meyakinkan. Buku itu penuh contoh akhlak
mulia dari Rasul dan para sahabat. Yang dilupakan dalam buku itu ialah teori
sosial, analisis, strategi, dan metode. Sepertinya Islam itu indah dulu, tetapi
tidak ada penjelasan mengapa kemudian ia terpuruk. Padahal musuhnya ialah
Marxisme, yang sudah berpengalaman lebih dari 70 tahun dalam gerakan buruh,
sudah punya negara. Lebih dari segalanya, buku itu tidak menjelaskan bagaimana
akhlakuk karimah individual dapat menjadi akhlakul karimah social.
Keadaan
tidak banyakb berubah ketika Pemilu 1955 diadakan. Buku Tjokroaminoto dicetak
lagi, berulang-ulang (1954 adalah cetakan ke-5). Penerbit Bulan Bintang,
Tintamas, dan banyak penerbitan lokal—seperti AB. Sitti Syamsiah di Solo—banyak
berperan dalam menerbitkan buku-buku ideologis. Tema kajian pada zaman itu
ialah perbandingan Ideologi. Biasanya dibandingkan Islam, Kapitalisme, dan
Komunisme. Dalam tradisi inilah termasuk buku Musthafa Husni Assiba’i (1959) yang
semula diberi judul Sosialisme Islam diterbitkan kembali dengan judul Kehidupan
Sosial Menurut Islam: Tuntunan Hidup Bermasyarakat (Bandung: CV Diponegoro,
1981).
Ada
perbedaan penting antara buku Tjokroaminoto yang ditulis pada pra-proklamasi
dengan buku Assiba’i yang diterjemahkan pada pasca-proklamasi, yaitu yang
pertama ditulis dengan pendekatan akhlak, yang kedua dengan pendekatan syariah.
Tidak adanya negara dan adanya negara rupanya menjadi penyebab perbedaan itu.
dalam hal ini struktur mempengaruhi super-struktur. Dengan kata lain, tradisi
ideologis juga punya dinamika karena perbedaan kondisi sosio-politik.
c. Tradisi Ilmiah
Harus
diakui bahwa tradisi ilmiah dimulai oleh sarjana asing, seperti Snouck
Hurgronce, Schrieke, dan Pijper. Betul bahwa mereka tidak sepenuhnya
disinterested, tetapi metide empirisnya patut dihargai. Tanpa mereka, kita
tidak punya dokumen faktual untuk periode 1900-1940. Sesudah kemerdekaan,
tahun-tahun 1950-an ada Clifford Geertz. Pandangannya dalam Religion of Java
(Chicago: The University of Chicago Press, 1960) tidak dapat ditinggalkan oleh
peneliti sesudahnya. Sekalipun trikonominya priyayi, santri, dan abangan sudah
banyak mendapat kritik, tetapi buku itu sangat berguna untuk melihat situasi
keagamaan dan religio-politik pada zamannya. Tentu saja keadaan sudah berubah,
ada pembauran antara ketiga sektor itu.
Disertasi-disertasi
di IAIN memakai pendekatan empiris (kontekstual, sosial, historis) seperti
tradisi ilmiah umumnya atau pendekatan tekstual (literary critism, hermeneutik)
seperti tradisi normatif. Kedua-duanya tidak banyak pengaruhnya dalam kehidupan
sosial; mungkin umat lebih yakin, tetapi tidak lebih cerdas. Karena itu, harus
ada gerakan intelektual yang menghubungkan perkembangan intelektual dengan
perkembangan sosial, kampus dengan masyarakat.
1.
Ilmu-Ilmu
Sosial Profetik
Definisi.
Sesudah tradisi keilmuan itu diletakkan, perkembangan ilmu-ilmu Islam bersifat
sintagmatis (syntax ialah pengaturan kata dalam kalimat), tidak ada terobosan,
tidak ada paradigma baru. Ilmu-ilmu Islam telah menjadi apa yang disebut Thomas
S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The University
of Chicago Press, 1973) sebagai normal science. Cara mendapatkan paradigma baru
itu ialah dengan mengubah komitmen. Komitmen tradisi normatif ialah dakwah,
komitmen tradisi ideologis ialah politik, dan komitmen tradisi ilmiah adalah
ilmu. Paradigma baru itu harus mempunyai komitmen baru, yaitu umat (masyarakat,
komunitas, rakyat, kaum, bangsa). Paradigma baru itu akan kita sebut Ilmu
Sosial Profetik. Dasar Ilmu Sosial Profetik itu dapat dibaca dalam QS Ali
‘Imran (3): 110:Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mecegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah.
Ada tiga
unsur, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuuna billah. Amar ma’ruf itu
sesuai dengan semangat peraban Barat yang percaya kepada the idea of progress,
demokrasi, HAM, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme, dan
selfishness. Bahkan seorang ateis seperti J.P. Sartre menyebut
eksistensialismenya sebagai humanisme. Mereka ingin humanisation, memanusiakan
manusia, atau –dalam bahasa agamanya— mengembalikan manusia pada fitrahnya.
Sebaliknya, nahi munkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme (Marxisme, komunisme,
teori ketergantungan, teologi pembebasan) yaitu liberation. Mereka percaya
bahwa perkembangan dapat dicapai melalui pembebasan (Lihat buku Gerald J.
Kruijer, Development through Liberation, London: Macmillan Education Ltd.,
1987). Tu’minuuna billah sama dengan transendence yang menjadi prinsip semua
agama dan filsafat parenial (Mengenai transendensi lihat Roger Garaudy, Mencari
Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1986). Jadi, Ilmu
Sosial Profetik ialah humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Asal-usul
intelektual Ilmu Sosial Profetik ialah buku Muhammad Iqbal Membangun Kembali
Pikiran Agama dalam Islam (Djakarta: Tintamas, 1956). Dalam bab tentang “Jiwa
Kebudayaan Islam” dengan mengutip kata-kata seorang sufi, Abdul Quddus, Iqbal
memaparkan perbedaan kesadaran Rasul (kesadaran profetik) dengan kesadaran
mistik. Abdul Quddus mengatakan (h. 123): “Muhammad telah naik ke langit
tertinggi lalu kembali lagi. Demi allah aku bersumpah, bahwa kalau aku jang
telah mentjapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Seorang intelektual
adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual Muslim tidak boleh berpangku tangan,
sementara dunia akan tenggelam.
Aktivisme
intelektual Muslim adalah kegiatan ilmiah, tidak vulgar, dan dari standar
objektif apa pun harus ekselen. Ia tidak pernah menjadi eksklusif, dapat
memakai aliran apa pun yang ada, kecuali yang bertentangan dengan dirinya.
Krisis ilmu sosial sekarang ini tidak diatasi dengan penolakan-penolakan tetapi
dengan mengubah komitmennya, yaitu pada masyarakat yang konkret, dan kaidahnya,
yaitu profetisme. Vulgarisasi ilmu hanya akan menjatuhkannya jadi alat
propaganda yang menyesatkan. Kegiatan. Ilmu sosial tertentu peka dengan gejala
tertentu, tetapi bisa jadi tidak memperhatikan gejala lain. Misalnya Marxisme
peka dengan masalah inquality, feminisme dengan masalah dominasi laki-laki atas
perempuan, dan Freudianisme dengan masalah seksualitas. Apa pun akan selalu
dikembalikan pada perhatian utamanya. Marxisme akan melihat kebudayaan
(termasuk agama) sebagai cerminan dari kondisi sosial, atau structure
menentukan superstructure. Tema utama dari kritik sastra feminis ialah
bagaimana perempuan dicitrakan dalam sastra. Freudianisme akan melihat agama
sebagai usaha mencari “ayah yang hilang”, atau sport bermula dari kebutuhan
laki-laki untuk mengekspresikan kejantanannya. Dalam ilmu seseorang tidak boleh
memegang ilmunya secara fanatik, termasuk Ilmu Sosial Profetik; dalam ilmu,
kebenaran itu komplementer, tidak absolut.
Demikianlah
Ilmu Sosial Profetik harus mempunyai perhatian utama. Perhatian utama itu ialah
emansipasi umat, yang konkret dan historis, dengan menyangkutkannya dengan
problem-problem aktual yang dihadapi umat. Problem sekarang ialah bagaimana
mengantarkan umat dalam transformasi menuju masyarakat industrial, civil
society, ekonomi yang non-eksploitatif, masyarakat demokratis, negara rasional,
dan budaya yang manusiawi.
Ø Untuk itu ada tiga program yang
dapat dikerjakan: teorisasi, strukturasi, dan transformasi.
1) Teorisasi. Umat biasa berpikir secara fiqih yang hanya mengenal
kategorisasi yang jelas, bersifat dikotomi halal-haram atau pembagian lima
wajib-sunnahmubah-makruh-haram. Fiqih lahir dalam masyarakat agraris. Yang kita
perlukan ialah sebuah teori yang berbicara tentang sejarah, proses, dan
hubungan. Jadi tidak hanya berupa reaksi berdasarkan hukum terhadap gejala
sosial (halal-haram), tetapi juga antisipasi ke depan. Dengan demikian umat
dapat aktif tidak hanya reaktif. Misalnya kita perlu teori tentang keadilan, tentang
hubungan antara negara dan masyarakat, dan tentang modal dan tenaga kerja.
“Kekalahan” SI-Putih dari SI-Merah, atau Sarbumusi dari SB-SB di bawah PKI,
atau PERTANU dari BTI, atau tidak dipakainya “jalan Islam” oleh PRD, semuanya
disebabkan karena tidak tersedianya teori. Kita sudah ditolong Tuhan pada
1965-1966, marilah kita sekarang menolong diri sendiri, “menolong” Tuhan. Benar
kita sudah punya modal dalam berperilaku, yaitu akhlak. Tetapi rupanya dalam
zaman modern kita perlu juga teori. Untuk mengubah akhlak menjadi teori sosial
itu adalah tugas kaum intelektual. Orang yang mengatakan “politik berdasarkan
akhlakul karimah” dikhawatirkan kena penyakit mistifikasi Islam.
2) Strukturasi. Orang perlu tahu secara persis apa yang akan dikerjakan
umat di masa depan dengan Indonesia. Mistifikasi yang sudah disinyalir 80
tahunan yang lalu, masih akan terjadi sekarang ini, pada waktu anak-anak umat
sudah pandai membuat pesawat terbang, kalau sesuatu tidak dikerjakan. Dengan
studi komparatif, misalnya tentang sistem ekonomi, kita akan punya gambaran
tentang sebuah sistem ekonomi yang dinamis, tetapi tidak eksploitatif. Selama
ini kebanyakan kaum intelektual mendefinisikan gerakan Islam sebagai gerakan
kultural atau gerakan moral. Itu baik, kalau yang dimaksudkan ialah tidak
diinginkannya kedudukan struktural dalam lembaga eksekutif. Kiranya istilah
“struktural” di sini ialah pengetahuan tentang struktur, tentang apa yang akan
dikerjakan, jadi tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kulturan dan
struktural.
3) Transformasi. Sejarah politik kita adalah suatu disrupted history karena
dari belajar berpolitik sejak zaman SI tiba-tiba menjadi floating mass
gara-gara tragedi nasional 1965. Kerika kran politik mulai terbuka—30-an tahun
sesudah 1965—ada tragedi lain, yaitu 27 Juli 1996. Kita khawatir jangan-jangan
itu jadi alasan pembenar terhadap “floating mass” yang lain.
Tentang
politik, kalau pada zaman SI umat adalah kawulo dan umat baru merasakan jadi
warga negara 1945-1960 (1960-1965 umat kebanyakan dikejar-kejar sebagai
kontra-revolutioner) maka akhir-akhir ini ada tanda-tanda bahwa mentalitas
kawulo itu akan kembali lagi. Kalau itu benar, akan sia-sialah kalau selama ini
(sudah 10-an tahun) Moeslim Abdurrahman berbicara tentang teologi
transformatif, karena transformasi itu tak konjung sampai.
Tetapi itu
cerita tentang transformasi politik. Padahal, perubahan dari masyarakat agraris
ke masyarakat industrial (atau dalam waktu lain, masyarakat industrial ke
masyarakat pasca-industrial) lebih dari gejala politik, tetapi juga gejala
sosial, budaya, dan agama. Khusus untuk umat, perubahan-perubahan agama,
kelembagaan, kepemimpinan, dan kebudayaan sangat penting diketahui supaya umat
tidak merasa seperti dilemparkan dari masyarakat agraris ke masyarakat
industrial. Kaum intelektual dituntut untuk menyiapkan umat menghadapi
transformasi itu.
2.
Prioritas,
Dinamika, dan “Musuh”
Prioritas
Ilmu Sosial Profetik ialah Teorisasi. Sejarah intelektual Islam sangat miskin
dengan teori, terutama teori sosial. Kiranya hanya Ibn Khaldun (1332-1406) yang
paling berhak menyandang gelar Bapak Teori Sosial Islam, teori yang lahir
karena deduksi dari ayat-ayat Al-Qur’an dan induksi, pengamatan, dari sejarah
bangsa-bangsa waktu itu. Namun, teori-teorinya, selain selain ada jarak waktu,
juga ada jarak geografis dan sosial dengan masalah umat kontemporer. Mungkin
teori Max Weber mengenai agama dapat menjadi rujukan, sekalipun pemahamannya
mengenai Islam sangat minimal, hanya dari sumber sekunder yang penuh bias.
Bryan S. Turner (1974) telah menulis Weber and Islam: A Critical Study.
Memahami diri sendiri, kiranya sangat diperlukan untuk merencanakan masa depan.
Tidak ada orang lain yang mempunyai posisi lebih baik daripada kaum intelektual
Muslim sendiri.
Jangan
dibayangkan bahwa Ilmu Sosial Profetik adalah bangunan yang monolitis, tanpa
dinamika, tidak ada wacana, sebab segalanya sudah selesai dengan semboyan
“kembali ke Al-Quran”, karena Al-Quran adalah Al-Furqan, pembeda. Yang
dijelaskan dalam Al-Quran adalah benar dan salah menurut agama (aqidah,
syariah, akhlak), bukan benar dan salah menurut ilmu. Misalnya konsep tentang
manusia (innate structure-nya) yang akan berpengaruh dalam metodologi.
Setidaknya ada tiga pendapat. Pertama, ruh dan badan itu sejajar. Kedua,
primacy dari ruh. Ketiga, primacy dari badan. Kalau kita baca ruh sama dengan
superstructure, dan badan sama dengan structure, kita akan masuk dalam
perdebatan tentang Marxian dan Hegelian, sosiologisme dan eksistensialisme.
Pertanyaan selanjutnya, untuk apa
Ilmu Sosial Profetik muncul? Selain ke dalam untuk emansipasi, juga keluar
untuk bertahan. Kita sedang menghadapi “perang”, ghazwul fikr atau intellectual
agression. “Musuh” kita adalah materialisme dan sekularisme dunia modern. Tugas
intelektual Muslim ialah berjihad intelektual.
Kalau saya
boleh usul, untuk lima belas tahun diadakan moratorium kegiatan ilmiah yang
lain. Pengerahan seluruh disertasi di IAIN dan semua kegiatan intelektual kita
semata-mata untuk mengubah mentalitas umat, mempersiapkan umat memasuki era
industrialisasi, globalisasi, dan perdagangan bebas. Melalui diseminasi lewat
penerbitan, seminar, dan training-training gagasan-gagasan akan mencapai umat.
Diharapkan bahwa pada 2020 umat sudah siap menghadapi perubahan-perubahan. Untuk
itu kaum intelektual perlu meninggalkan sikap-sikap kontroversial—misalnya,
manusia pertama itu bukan laki-laki tetapi wanita. Umat sudah lama menderita,
sehingga sebuah shock therapy hanya akan menambah penderitaan itu, tidak
menjadikannya sehat.
KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah
swt atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya kami dapat menyusun sebuah makalah yang
membahas tentang ” Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam, Ilmu Sosial sebagai Gerakan
Intelektual” Dalam kesempatan ini kami menyampaikan
rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang
telah membrikan bantuan, dorongan dan arahan kepada penyusun.
Makalah
yang kami buat ini masih banyak kekurangan dan kami berharap para pembaca
memberikan kami kritik atau saran yang bersifat membangun agar kami dapat
menyusun makalah yang lebih sempurna.
Mataram, 27 Oktober 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
a.
Latar belakang...........................................................................................................
b.
Rumusan Masalah......................................................................................................
c.
Tujuan........................................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………..
a.
Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia.........................................................................
b.
Ilmu-Ilmu sosisal Profetik..........................................................................................
c.
Prioritas Dinamika dan Musuh…………………………………………………..
BAB III PENUTUP.............................................................................................................
a.
Kesimpulan................................................................................................................
b.
Saran..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
MAKALAH
PSIKOLOGI
“TENTANG FANTASI”
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK
KELOMPOK
JERY TAKBIRATUL
IHSAN (160304051)
NURSIP (160304047)
NURSIP (160304047)
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAM ISLAM NEGERI MATARAM
2016/2017
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ellul,
Jackus. The Tecnological Society. New York: Vintage Books,1964.
Dijk,
Jan Van. WestersMarxisme Als Sociale Wetenschap. Nijmegen: SUN, 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar