Selasa, 22 November 2016

Makalah Perkembangan Islam Di Indonesia


                                              
             
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Mentalitas umat Islam Indonesia masa kini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada 1914—lebih 80 tahun yang lalu—ketika D.A Rinkes, Penasihat untuk Urusan Bumiputera, mengatakan bahwa umat melakukan mistifikasi agama (H. 1083, 35 KITLV), artinya percaya bahwa dengan Islam segalanya akan beres, tetapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan, hanya “ikut arus” kejadian sehari-hari tanpa tujuan yang jelas. Bisa dipahami kalau dalam dalam waktu yang sama Radjiman Widiyodipuro—tokoh BU—berpendapat bahwa agama tidak dapat menjadi pengikat massa, meskipun dapat menjadi daya tarik (indische Gids, 1914, I, 65-66). Keadaan itu agak tertolong ketika pada 1915 Tjokroaminoto merumuskan sebuah pra-ideologi dengan mengatakan bahwa “Islam adalah agama bagi orang miskin dan orang tertindas” (Vb 25-2-1916-49 MR 1572/15).
Sejak itulah Islam dilihat sebagai ideologi. Tetapi, ideologisasi Islam itu di masa kini akan merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan apakah kebangkitan Islam itu tidak dirasakan sebagai ancaman, tetapi sebagai rahmat? Satu-satunya jalan ialah jalan revitalisasi tradisi keilmuan Islam. Ilmu Islam yang bagaimana akan menguntungkan umat, bangsa, dan kemanusiaan.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia
b. Ilmu-Ilmu Sosial Profetik
c. Prioritas, Dinamika, dan “Musuh”

C. TUJUAN MASALAH
a. Untuk mengetahui tradisi islam di indonesia
b. Memahami ilmu-ilmu profetik
c. Memahami perioritas, Dinamika, dan Musuh



                                                BAB II
                                  PEMBAHASAN
 1.      Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia

Salah satu sebab dari keterbelakangan umat ialah tidak nyangkutnya teori dengan praktik, atau ilmu dengan kenyataan. Kita sudah gagal menjadikan ilmu-ilmu Islam sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi umat. Kita hanya menyerahkan perkembangan sejarah umat pada ilmu-ilmu normatif. Ilmu-ilmu sosial yang kita kembangkan hanya membuat orang terasing dengan dirinya sendiri, atau menjadikan orang asing dengan Islam. Itu disebabkan karena ilmu yang kita kembangkan adalah cangkokan, tidak berakar pada masyarakat. Ilmu itu juga menganut dikotomi yang jelas antara fakta dan nilai, mempunyai bias positivis seperti ilmu alam, seolah-olah ilmu sosial itu bebas nilai, objektif, dan murni empiris. Kita malu untuk mengakui keterkaitan ilmu sosial dengan nilai-nilai sosial dan budaya, kita takut dituduh tidak ilmiah, tidak objektif.
Di Barat pun orang sudah lama ragu-ragu akan ilmu sosial yang “bebas nilai”. Strukturalisme-fungsionalisme mempunyai bias nilai-nilai masyarakat borjuis yang menginginkan sebuah equilibrium yang dinamis. Munculnya ilmu sosial Marxis dan Critical Theory adalah gugatan pada kemapanan ilmu sosial yang ada. Menurut Marx, ilmu itu tidak hanya memahami gejala-gejala, tetapi harus mempunyai kekuatan mengubah. Setidaknya ada tiga tradisi keilmuan Islam di Indonesia, yaitu normatif, ideologis, dan ilmiah.

a.       Tradisi Normatif
Ada dua kemungkinan dalam tradisi ini, yaitu deklaratif dan apologetis. Kemungkinan untuk perkembangan ilmu yang deklaratif selalu diperlukan untuk dakwah, supaya pemeluk Islam menjalankan agamanya dengan ilmu, tidak blilu tau (ikut-ikutan). Sekolah, pesantren, masyarakat, dan banyak orang perguruan di perguruan tinggi mengembangkan ilmu-ilmu normatif deklaratif. Buku-buku asli dan terjemahan mengenai tafsir, hadits, tarikh, dakwah, akidah, syariah, akhlak, dan tasawuf semuanya normatif deklaratif. Islam yang abadi (dari segi waktu) dan universal (dari segi tempat) dapat dilihat dalam tradisi ini. Maraknya penerbitan buku-buku Islam, di antaranya Bina Ilmu di Surabaya dan Gema Insani Press di Jakarta, yang terbanyak juga dalam tradisi ini.
Selain itu, ciri-ciri apologetis juga menonjol. Seseorang hanya perlu melihat Buku Islam Sejak Tahun 1945 (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990) untuk mengetahui masalah ini. Tema yang sering muncul ialah soal wanita, ilmu pengetahuan sejarah, dan hak-hak asasi. Munculnya tradisi ini jelas disebabkan  oleh karena para Orientalis dan hegemoni Barat selalu mendiskreditkan Islam baik dalam Ilmu, media massa, maupun politik. Gambaran tentang Islam sebagai institusi yang ketinggalan zaman bahkan diadopsi oleh orang Islam sendiri. Inferioritas masih banyak menghinggapi kita, kiranya sebuah gerakan decolonization of consciosness diperlukan, supaya perkembangan ilmu-ilmu Islam bukan reaktif, tetapi aktif, duduk sejajar dengan golongan lain. Aktif berperan dalam sejarah kemanusiaan. Buku-buku Mizan, dapat diambil sebagai contoh dekolonisasi kesadaran itu.
b.      Tradisi Ideologis
Pada tahun 1924 Tjokoroaminoto menerbitkan buku, Islam dan Socialisme (Djakarta: Penerbit “Bulan Bintang”, 1954). Buku itu jelas-jelas sebagai jawaban atas Marxisme yang dikembangkan oleh SI-Merah. Buku itu berjasa karena sejak itu ada internasionalisasi, Islam Indonesia memakai rumusan internasional. Sekalipun demikian ideologisasi gerakan Islam adalah too late too little, tidak dapat menandingi Marxisme, karena tidak meyakinkan. Buku itu penuh contoh akhlak mulia dari Rasul dan para sahabat. Yang dilupakan dalam buku itu ialah teori sosial, analisis, strategi, dan metode. Sepertinya Islam itu indah dulu, tetapi tidak ada penjelasan mengapa kemudian ia terpuruk. Padahal musuhnya ialah Marxisme, yang sudah berpengalaman lebih dari 70 tahun dalam gerakan buruh, sudah punya negara. Lebih dari segalanya, buku itu tidak menjelaskan bagaimana akhlakuk karimah individual dapat menjadi akhlakul karimah social.
Keadaan tidak banyakb berubah ketika Pemilu 1955 diadakan. Buku Tjokroaminoto dicetak lagi, berulang-ulang (1954 adalah cetakan ke-5). Penerbit Bulan Bintang, Tintamas, dan banyak penerbitan lokal—seperti AB. Sitti Syamsiah di Solo—banyak berperan dalam menerbitkan buku-buku ideologis. Tema kajian pada zaman itu ialah perbandingan Ideologi. Biasanya dibandingkan Islam, Kapitalisme, dan Komunisme. Dalam tradisi inilah termasuk buku Musthafa Husni Assiba’i (1959) yang semula diberi judul Sosialisme Islam diterbitkan kembali dengan judul Kehidupan Sosial Menurut Islam: Tuntunan Hidup Bermasyarakat (Bandung: CV Diponegoro, 1981).
Ada perbedaan penting antara buku Tjokroaminoto yang ditulis pada pra-proklamasi dengan buku Assiba’i yang diterjemahkan pada pasca-proklamasi, yaitu yang pertama ditulis dengan pendekatan akhlak, yang kedua dengan pendekatan syariah. Tidak adanya negara dan adanya negara rupanya menjadi penyebab perbedaan itu. dalam hal ini struktur mempengaruhi super-struktur. Dengan kata lain, tradisi ideologis juga punya dinamika karena perbedaan kondisi sosio-politik.
c.       Tradisi Ilmiah
Harus diakui bahwa tradisi ilmiah dimulai oleh sarjana asing, seperti Snouck Hurgronce, Schrieke, dan Pijper. Betul bahwa mereka tidak sepenuhnya disinterested, tetapi metide empirisnya patut dihargai. Tanpa mereka, kita tidak punya dokumen faktual untuk periode 1900-1940. Sesudah kemerdekaan, tahun-tahun 1950-an ada Clifford Geertz. Pandangannya dalam Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960) tidak dapat ditinggalkan oleh peneliti sesudahnya. Sekalipun trikonominya priyayi, santri, dan abangan sudah banyak mendapat kritik, tetapi buku itu sangat berguna untuk melihat situasi keagamaan dan religio-politik pada zamannya. Tentu saja keadaan sudah berubah, ada pembauran antara ketiga sektor itu.
Disertasi-disertasi di IAIN memakai pendekatan empiris (kontekstual, sosial, historis) seperti tradisi ilmiah umumnya atau pendekatan tekstual (literary critism, hermeneutik) seperti tradisi normatif. Kedua-duanya tidak banyak pengaruhnya dalam kehidupan sosial; mungkin umat lebih yakin, tetapi tidak lebih cerdas. Karena itu, harus ada gerakan intelektual yang menghubungkan perkembangan intelektual dengan perkembangan sosial, kampus dengan masyarakat.

1.      Ilmu-Ilmu Sosial Profetik
Definisi. Sesudah tradisi keilmuan itu diletakkan, perkembangan ilmu-ilmu Islam bersifat sintagmatis (syntax ialah pengaturan kata dalam kalimat), tidak ada terobosan, tidak ada paradigma baru. Ilmu-ilmu Islam telah menjadi apa yang disebut Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The University of Chicago Press, 1973) sebagai normal science. Cara mendapatkan paradigma baru itu ialah dengan mengubah komitmen. Komitmen tradisi normatif ialah dakwah, komitmen tradisi ideologis ialah politik, dan komitmen tradisi ilmiah adalah ilmu. Paradigma baru itu harus mempunyai komitmen baru, yaitu umat (masyarakat, komunitas, rakyat, kaum, bangsa). Paradigma baru itu akan kita sebut Ilmu Sosial Profetik. Dasar Ilmu Sosial Profetik itu dapat dibaca dalam QS Ali ‘Imran (3): 110:Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mecegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Ada tiga unsur, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuuna billah. Amar ma’ruf itu sesuai dengan semangat peraban Barat yang percaya kepada the idea of progress, demokrasi, HAM, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme, dan selfishness. Bahkan seorang ateis seperti J.P. Sartre menyebut eksistensialismenya sebagai humanisme. Mereka ingin humanisation, memanusiakan manusia, atau –dalam bahasa agamanya— mengembalikan manusia pada fitrahnya. Sebaliknya, nahi munkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme (Marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan) yaitu liberation. Mereka percaya bahwa perkembangan dapat dicapai melalui pembebasan (Lihat buku Gerald J. Kruijer, Development through Liberation, London: Macmillan Education Ltd., 1987). Tu’minuuna billah sama dengan transendence yang menjadi prinsip semua agama dan filsafat parenial (Mengenai transendensi lihat Roger Garaudy, Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1986). Jadi, Ilmu Sosial Profetik ialah humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Asal-usul intelektual Ilmu Sosial Profetik ialah buku Muhammad Iqbal Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (Djakarta: Tintamas, 1956). Dalam bab tentang “Jiwa Kebudayaan Islam” dengan mengutip kata-kata seorang sufi, Abdul Quddus, Iqbal memaparkan perbedaan kesadaran Rasul (kesadaran profetik) dengan kesadaran mistik. Abdul Quddus mengatakan (h. 123): “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi allah aku bersumpah, bahwa kalau aku jang telah mentjapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual Muslim tidak boleh berpangku tangan, sementara dunia akan tenggelam.
Aktivisme intelektual Muslim adalah kegiatan ilmiah, tidak vulgar, dan dari standar objektif apa pun harus ekselen. Ia tidak pernah menjadi eksklusif, dapat memakai aliran apa pun yang ada, kecuali yang bertentangan dengan dirinya. Krisis ilmu sosial sekarang ini tidak diatasi dengan penolakan-penolakan tetapi dengan mengubah komitmennya, yaitu pada masyarakat yang konkret, dan kaidahnya, yaitu profetisme. Vulgarisasi ilmu hanya akan menjatuhkannya jadi alat propaganda yang menyesatkan. Kegiatan. Ilmu sosial tertentu peka dengan gejala tertentu, tetapi bisa jadi tidak memperhatikan gejala lain. Misalnya Marxisme peka dengan masalah inquality, feminisme dengan masalah dominasi laki-laki atas perempuan, dan Freudianisme dengan masalah seksualitas. Apa pun akan selalu dikembalikan pada perhatian utamanya. Marxisme akan melihat kebudayaan (termasuk agama) sebagai cerminan dari kondisi sosial, atau structure menentukan superstructure. Tema utama dari kritik sastra feminis ialah bagaimana perempuan dicitrakan dalam sastra. Freudianisme akan melihat agama sebagai usaha mencari “ayah yang hilang”, atau sport bermula dari kebutuhan laki-laki untuk mengekspresikan kejantanannya. Dalam ilmu seseorang tidak boleh memegang ilmunya secara fanatik, termasuk Ilmu Sosial Profetik; dalam ilmu, kebenaran itu komplementer, tidak absolut.
Demikianlah Ilmu Sosial Profetik harus mempunyai perhatian utama. Perhatian utama itu ialah emansipasi umat, yang konkret dan historis, dengan menyangkutkannya dengan problem-problem aktual yang dihadapi umat. Problem sekarang ialah bagaimana mengantarkan umat dalam transformasi menuju masyarakat industrial, civil society, ekonomi yang non-eksploitatif, masyarakat demokratis, negara rasional, dan budaya yang manusiawi.

Ø  Untuk itu ada tiga program yang dapat dikerjakan: teorisasi, strukturasi, dan transformasi.

1)      Teorisasi. Umat biasa berpikir secara fiqih yang hanya mengenal kategorisasi yang jelas, bersifat dikotomi halal-haram atau pembagian lima wajib-sunnahmubah-makruh-haram. Fiqih lahir dalam masyarakat agraris. Yang kita perlukan ialah sebuah teori yang berbicara tentang sejarah, proses, dan hubungan. Jadi tidak hanya berupa reaksi berdasarkan hukum terhadap gejala sosial (halal-haram), tetapi juga antisipasi ke depan. Dengan demikian umat dapat aktif tidak hanya reaktif. Misalnya kita perlu teori tentang keadilan, tentang hubungan antara negara dan masyarakat, dan tentang modal dan tenaga kerja. “Kekalahan” SI-Putih dari SI-Merah, atau Sarbumusi dari SB-SB di bawah PKI, atau PERTANU dari BTI, atau tidak dipakainya “jalan Islam” oleh PRD, semuanya disebabkan karena tidak tersedianya teori. Kita sudah ditolong Tuhan pada 1965-1966, marilah kita sekarang menolong diri sendiri, “menolong” Tuhan. Benar kita sudah punya modal dalam berperilaku, yaitu akhlak. Tetapi rupanya dalam zaman modern kita perlu juga teori. Untuk mengubah akhlak menjadi teori sosial itu adalah tugas kaum intelektual. Orang yang mengatakan “politik berdasarkan akhlakul karimah” dikhawatirkan kena penyakit mistifikasi Islam.
2)      Strukturasi. Orang perlu tahu secara persis apa yang akan dikerjakan umat di masa depan dengan Indonesia. Mistifikasi yang sudah disinyalir 80 tahunan yang lalu, masih akan terjadi sekarang ini, pada waktu anak-anak umat sudah pandai membuat pesawat terbang, kalau sesuatu tidak dikerjakan. Dengan studi komparatif, misalnya tentang sistem ekonomi, kita akan punya gambaran tentang sebuah sistem ekonomi yang dinamis, tetapi tidak eksploitatif. Selama ini kebanyakan kaum intelektual mendefinisikan gerakan Islam sebagai gerakan kultural atau gerakan moral. Itu baik, kalau yang dimaksudkan ialah tidak diinginkannya kedudukan struktural dalam lembaga eksekutif. Kiranya istilah “struktural” di sini ialah pengetahuan tentang struktur, tentang apa yang akan dikerjakan, jadi tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kulturan dan struktural.
3)      Transformasi. Sejarah politik kita adalah suatu disrupted history karena dari belajar berpolitik sejak zaman SI tiba-tiba menjadi floating mass gara-gara tragedi nasional 1965. Kerika kran politik mulai terbuka—30-an tahun sesudah 1965—ada tragedi lain, yaitu 27 Juli 1996. Kita khawatir jangan-jangan itu jadi alasan pembenar terhadap “floating mass” yang lain.

Tentang politik, kalau pada zaman SI umat adalah kawulo dan umat baru merasakan jadi warga negara 1945-1960 (1960-1965 umat kebanyakan dikejar-kejar sebagai kontra-revolutioner) maka akhir-akhir ini ada tanda-tanda bahwa mentalitas kawulo itu akan kembali lagi. Kalau itu benar, akan sia-sialah kalau selama ini (sudah 10-an tahun) Moeslim Abdurrahman berbicara tentang teologi transformatif, karena transformasi itu tak konjung sampai.
Tetapi itu cerita tentang transformasi politik. Padahal, perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial (atau dalam waktu lain, masyarakat industrial ke masyarakat pasca-industrial) lebih dari gejala politik, tetapi juga gejala sosial, budaya, dan agama. Khusus untuk umat, perubahan-perubahan agama, kelembagaan, kepemimpinan, dan kebudayaan sangat penting diketahui supaya umat tidak merasa seperti dilemparkan dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Kaum intelektual dituntut untuk menyiapkan umat menghadapi transformasi itu.

2.      Prioritas, Dinamika, dan “Musuh”
Prioritas Ilmu Sosial Profetik ialah Teorisasi. Sejarah intelektual Islam sangat miskin dengan teori, terutama teori sosial. Kiranya hanya Ibn Khaldun (1332-1406) yang paling berhak menyandang gelar Bapak Teori Sosial Islam, teori yang lahir karena deduksi dari ayat-ayat Al-Qur’an dan induksi, pengamatan, dari sejarah bangsa-bangsa waktu itu. Namun, teori-teorinya, selain selain ada jarak waktu, juga ada jarak geografis dan sosial dengan masalah umat kontemporer. Mungkin teori Max Weber mengenai agama dapat menjadi rujukan, sekalipun pemahamannya mengenai Islam sangat minimal, hanya dari sumber sekunder yang penuh bias. Bryan S. Turner (1974) telah menulis Weber and Islam: A Critical Study. Memahami diri sendiri, kiranya sangat diperlukan untuk merencanakan masa depan. Tidak ada orang lain yang mempunyai posisi lebih baik daripada kaum intelektual Muslim sendiri.
Jangan dibayangkan bahwa Ilmu Sosial Profetik adalah bangunan yang monolitis, tanpa dinamika, tidak ada wacana, sebab segalanya sudah selesai dengan semboyan “kembali ke Al-Quran”, karena Al-Quran adalah Al-Furqan, pembeda. Yang dijelaskan dalam Al-Quran adalah benar dan salah menurut agama (aqidah, syariah, akhlak), bukan benar dan salah menurut ilmu. Misalnya konsep tentang manusia (innate structure-nya) yang akan berpengaruh dalam metodologi. Setidaknya ada tiga pendapat. Pertama, ruh dan badan itu sejajar. Kedua, primacy dari ruh. Ketiga, primacy dari badan. Kalau kita baca ruh sama dengan superstructure, dan badan sama dengan structure, kita akan masuk dalam perdebatan tentang Marxian dan Hegelian, sosiologisme dan eksistensialisme.
Pertanyaan selanjutnya, untuk apa Ilmu Sosial Profetik muncul? Selain ke dalam untuk emansipasi, juga keluar untuk bertahan. Kita sedang menghadapi “perang”, ghazwul fikr atau intellectual agression. “Musuh” kita adalah materialisme dan sekularisme dunia modern. Tugas intelektual Muslim ialah berjihad intelektual.
Kalau saya boleh usul, untuk lima belas tahun diadakan moratorium kegiatan ilmiah yang lain. Pengerahan seluruh disertasi di IAIN dan semua kegiatan intelektual kita semata-mata untuk mengubah mentalitas umat, mempersiapkan umat memasuki era industrialisasi, globalisasi, dan perdagangan bebas. Melalui diseminasi lewat penerbitan, seminar, dan training-training gagasan-gagasan akan mencapai umat. Diharapkan bahwa pada 2020 umat sudah siap menghadapi perubahan-perubahan. Untuk itu kaum intelektual perlu meninggalkan sikap-sikap kontroversial—misalnya, manusia pertama itu bukan laki-laki tetapi wanita. Umat sudah lama menderita, sehingga sebuah shock therapy hanya akan menambah penderitaan itu, tidak menjadikannya sehat.



                                                KATA  PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah swt atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya kami dapat menyusun sebuah makalah yang membahas tentang ” Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam, Ilmu Sosial sebagai Gerakan Intelektual”  Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membrikan bantuan, dorongan dan arahan kepada penyusun.
        Makalah yang kami buat ini masih banyak kekurangan dan kami berharap para pembaca memberikan kami kritik atau saran yang bersifat membangun agar kami dapat menyusun makalah yang lebih sempurna.



                                                                      Mataram, 27 Oktober 2016
                                                                         
                                                                                      



















DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
a.       Latar belakang...........................................................................................................
b.      Rumusan Masalah......................................................................................................
c.       Tujuan........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..
a.       Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia.........................................................................
b.      Ilmu-Ilmu sosisal Profetik..........................................................................................
c.       Prioritas Dinamika dan Musuh…………………………………………………..
BAB III PENUTUP.............................................................................................................
a.       Kesimpulan................................................................................................................
b.      Saran..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................






MAKALAH
PSIKOLOGI
“TENTANG FANTASI”








DI SUSUN OLEH
KELOMPOK
JERY TAKBIRATUL IHSAN    (160304051)
          NURSIP                                         (160304047)


JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAM ISLAM NEGERI MATARAM
2016/2017



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN


















DAFTAR PUSTAKA
Ellul, Jackus. The Tecnological Society. New York: Vintage Books,1964.
Dijk, Jan Van. WestersMarxisme Als Sociale Wetenschap. Nijmegen: SUN, 1984.










  

MAKALAH TENTANG SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA














                 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang disampaikan seseorang kepada orang lain agar bisa mengetahui apa yang menjadi maksud dan tujuannya. Seperti yang dikatakan oleh Gorys Keraf dan Abdul Chaer : Bahasa adalah suatu sistem lambing berupa bunyi, bersifat abitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi dan untuk mengidentifikasikan diri (1998:1).
Pentingnya bahasa sebagai identitas manusia, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengakuan manusia terhadap pemakaian bahasa dalam kehidupan bermayarakat sehari-hari. Untuk menjalankan tugas kemanusiaan, manusia hanya punya satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ada di benak mereka. Sesuatu yang sudah dirasakan sama dan serupa dengannya, belum tentu terasa serupa, karena belum terungkap dan diungkapkan. Hanya dengan bahasa, manusia dapat membuat sesuatu terasa nyata dan terungkap. Sering manusia lupa akan misteri dan kekuatan bahasa. Mereka lebih percaya pada pengetahuan dan pengalamannya. Padahal semua itu masih mentah dan belum nyata, bila tidak dinyatakan dengan bahasa.
Era globalisasi dewasa ini mendorong perkembangan bahasa secara pesat, terutama bahasa yang datang dari luar atau bahasa Inggris. Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang digunakan sebagai pengantar dalam berkomunikasi antar bangsa. Dengan ditetapkannya Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional (Lingua Franca), maka orang akan cenderung memilih untuk menguasai Bahasa Inggris agar mereka tidak kalah dalam persaingan di kancah internasional sehingga tidak buta akan informasi dunia. Pada saat ini, bahasa yang harus kita kuasai adalah bahasa Inggris, karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi antar negara.
Tak dipungkiri memang pentingnya mempelajari bahasa asing, tapi alangkah jauh lebih baik bila kita tetap menjaga, melestarikan dan membudayakan Bahasa Indonesia. Karena seperti yang kita ketahui, bahsa adalah merupakan idenditas suatu bangsa. Untuk memperdalam mengenai Bahasa Indonesia, kita perlu mengetahui bagaimana perkembangannya sampai saat ini sehingga kita tahu mengenai bahasa pemersatu dari berbagai suku dan adat-istiadat yang beranekaragam yang ada di Indonesia, yang termasuk kita didalamnya. Maka dari itu, melalui makalah ini penulis ingin menyampaikan sejarah tentang perkembangan bahasa Indonesia.

B. Rumusan Makalah
1. Bahasa Melayu Sebagai Asal Mula Bahasa Indonesia
2. Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia
3. Peristiwa-Peristiwa yang Mempengaruhi Perkermbangan Bahasa Indonesia
4. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
5. Upaya Peningkatan dan Pengembangan Bahasa Indonesia
C. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk mengetahwi bagaimana perkembangan Bahasa Indinesia Didunia Pendidikan.
2. Untuk meningkatkan kualitas dan mutu bahasa indinesa.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bahasa Melayu Sebagai Asal Mula Bahasa Indonesia
Telah dikemukakan pada beberapa kesempatan, mengapa bahasa melayu dipilih menjadi bahasa nasional bagi negara Indonesia yang merupakan suatu hal yang menggembirakan.    Dibandingkan dengan bahasa lain yang dapat dicalonkan menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa jawa (yang menjadi bahasa ibu bagi sekitar setengah penduduk Indonesia), bahasa melayu merupakan bahasa yang kurang berarti.
Di Indonesia, bahasa itu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau dan penduduk pantai-pantai diseberang Sumatera. Namun justru karena pertimbangan itu jualah pemilihan bahasa jawa akan selalu dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan. Alasan kedua, mengapa bahasa melayu lebih berterima dari pada bahasa jawa, tidak hanya secara fonetis dan morfologis tetapi juga secara reksikal, seperti diketahui, bahasa jawa mempunyai beribu-ribu morfen leksikal dan bahkan beberapa yang bersifat gramatikal.
Faktor yang paling penting adalah juga kenyataannya bahwa bahasa melayu mempunyai sejara yang panjang sebagai ligua France. Dari sumber-sumber China kuno dan kemudian juga dari sumber Persia dan Arab, kita ketahui bahwa kerajaan Sriwijaya di sumatera Timur paling tidak sejak abad ke -7 merupakan pusat internasional pembelajaran agama Budha serta sebuah negara yang maju yang perdagangannya didasarkan pada perdagangan antara Cina, India dan pulau-pulau di Asia Tenggara.
Bahas melayu mulai dipakai dikawasan Asia Tenggara sejak Abad ke-7. bukti-bukti yang menyatakan itu adalah dengan ditemukannya prasasti di kedukan bukit karangka tahun 683 M (palembang), talang tuwo berangka tahun 684 M (palembang), kota kapur berangka tahun 686 M (bukit barat), Karang Birahi berangka tahun 688 M (Jambi) prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf pranagari berbahasa melayu kuno. Bahasa melayu kuno itu hanya dipakai pada zaman sriwijaya saja karena di jawa tengah (Banda Suli) juga ditemuka prasasti berangka tahun 832 M dan dibogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa melayu kuno.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan , yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di Nusantara. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejara China I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain menyatakan bahwa di Sriwijay ada bahasa yang bernama Koen Loen (I-Tsing : 63-159), Kou Luen (I-Tsing : 183), K’ouen loven (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Ali Syahbana, 1971 : 0001089), Kun’lun (parnikel, 1977 : 91), K’un-lun (prentice 1978 : 19), ayng berdampingan dengan sanskerta. Yang dimaksud dengan Koen-Luen adalah bahasa perhubungan (lingua france) dikepulauan nusantara, yaitu bahasa melau.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelasa dari, peninggalan-peninggalan kerajaan islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil-hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti syair Hamzah Fansuri, hikayat raja-raja Pasai, sejarah melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin. Bahasa melayu menyebar kepelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama islam diwilayah nusantara bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antara pulau, antara suku, antara pedagang, antar bangsa, dan antar kerajaan karena bahasa melayu tidak mengenal tutur.
B.  Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia
Bahasa melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa melayu yang dipakai didaerah-daerah diwilayah nusantara dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa melayupun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek. Perkembangan bahasa melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928.
Untuk memperoleh bahasa nasionalnya, Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh dengan tantangan. Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa disamping fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu cirri cultural, yang kedalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa lain.
C. Peristiwa-Peristiwa yang Mempengaruhi Perkermbangan Bahasa Indonesia
1. Budi Otomo
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang merupakan organisasi yang bersifat kenasionalan yang pertama berdiri dan tempat terhidupnya kaum terpelajar bangsa Indonesia, dengan sadar menuntut agar syarat-syarat untuk masuk ke sekolah Belanda diperingan,. Pada kesempatan permulaan abad ke-20, bangsa Indonesia asyik dimabuk tuntutan dan keinginan akan penguasaan bahasa Belanda sebab bahasa Belanda merupakan syarat utam untuk melanjutkan pelajaran menambang ilmu pengetahuan barat.
2. Sarikat Islam
Sarekat islam berdiri pada tahun 1912. mula-mula partai ini hanya bergerak dibidang perdagangan, namun bergerak dibidang sosial dan politik jga. Sejak berdirinya, sarekat islam yang bersifat non kooperatif dengan pemerintah Belanda dibidang politik tidak perna mempergunakan bahasa Belanda. Bahasa yang mereka pergunakan ialah bahasa Indonesia.
3. Balai Pustaka
Dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazue pada tahu 1908 balai pustaku ini didirikan. Mulanya badan ini bernama Commissie Voor De Volkslectuur, pada tahun 1917 namanya berubah menjadi balai pustaka. Selain menerbitkan buku-buku, balai pustaka juga menerbitkan majalah.
Hasil yang diperoleh dengan didirikannya balai pustaka terhadap perkembangan bahasa melau menjadi bahasa Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Memberikan kesempatan kepada pengarang-pengarang bangsa Indonesia untuk menulis cerita ciptanya dalam bahasa melayu.
b. Memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk membaca hasil ciptaan bangsanya sendiri dalam bahasa melayu.
c. Menciptakan hubungan antara sastrawan dengan masyarakat sebab melalui karangannya sastrawan melukiskan hal-hal yang dialami oleh bangsanya dan hal-hal yang menjadi cita-cita bangsanya.
d. Balai pustaka juga memperkaya dan memperbaiki bahasa melayu sebab diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh karangan yang akan diterbitkan di balai pustaka ialah tulisan dalam bahasa melayu yang bersusun baik dan terpelihara.
4. Sumpah Pemuda
Kongres pemuda yang paling dikenal ialah kongres pemuda yang diselenggarakan pada tahun 1928 di Jakarta. Pada hal sebelumnya, yaitu tahun 1926, telah pula diadakan kongres pemuda yang tepat penyelenggaraannya juga di Jakarta. Berlangsung kongres ini tidak semata-mata bermakna bagi perkembangan politik, melainkan juga bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Dari segi politik, kongres pemuda yang pertama (1926) tidak akan bisa dipisahkan dari perkembangan cita-cita atau benih-benih kebangkitan nasional yang dimulai oleh berdirinya Budi Utomo, sarekat islam, dan Jon Sumatrenan Bond. Tujuan utama diselenggarakannya kongres itu adalah untuk mempersatukan berbagai organisasi kepemudaan pada waktu itu.
Pada tahun itu organisasi-organisasi pemuda memutuskan bergabung dalam wadah yang lebih besar Indonesia muda. Pada tanggal 28 Oktober 1928 organisasi pemuda itu mengadakan kongres pemuda di Jakarta yang menghasilkan sebuah pernyataan bersejarah yang kemudian lebih dikenal sebagai sumpah pemuda. Pertanyaan bersatu itu dituangkan berupa ikrar atas tiga hal, Negara, bangsa, dan bahasa yang satu dalam ikrar sumpah pemuda.
Peristiwa ini dianggap sebagai awal permulaan bahasa Indonesia yang sebenarnya, bahasa Indonesia sebagai media dan sebagai symbol kemerdekaan bangsa. Pada waktu itu memang terdapat beberapa pihak yang peradaban modern. Akan tetapi, tidak bisa dipumgkiri bahwa cita-cita itu sudah menjadi kenyataan, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi media kesatuan, dan politik, melainkan juga menjadi bahasa sastra indonesia baru.
D.  Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Indonesia
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja.
Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak “Soempah Pemoeda”, 28 Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik. Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.
Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulau dikenal sejak 17 Agustus 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan – atasan, mahasiswa – dosen, kepala dinas – bupati atau walikota, kepala desa – camat, dan sebagainya.
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan.
Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa – skripsi, tesis, disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek.
E.  Upaya Peningkatan Dan Pengembangan Bahasa Indonesia
Bahasa adalah yang terpadu dengan unsur-unsur lain didalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama, bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai bedaya. Pikiran dan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan.
Perkembangan kebudayaan Indonesia kearah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit.
1. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang pendidikan.Upaya yang dapat dilakukan adalah meminkan peran guru untuk menimgkatkan minat baca sehingga bahasa Indonesia dapat dikembangkan pada semua mata pelajaran.
2. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang komunikasi. Media massa merupakan salah satu saran ayang  apentinng untuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia dlam rangka pembangunan bangsa karena media massa telah memberiakan aperkembangan yang berharga dalam pertumbuhan bahasa Indonesia melalui media massa, baik secara tertuis maupun lisan. Ada kata yang cenderung kehilangan maknanya yang sesungguhnya dalam ragam lisan ada lafal baku. Disamping itu, dalam keadaan atau kesempatan tertentu masih dipakai bahasa atau bahasa asing.
3.  Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang kesenianBahasa Indonesia yang dipergunakan didalam banyak karya sastra cerita anak-anak, lagu, teater dan film menunjukkan adanya banyak ketimpangan. Dalam hal sastra dan buku anak-anak , hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa yang kurang sempurna dari kebanyakan pengarang kita, disamping masi tidak pastinya peranan redaktur dalam penerbitan. Pemakaian bahasa Indonesia dalam film lebih banyak merupakan barang dagangan pemburuk keuntungan bagi pengusaha, penulis skenario yang dipilihnya kebanyakan tidak menguasai teknik penulisan yang baik.
4. Pembinaan dan pengembangan bahasa dalam kaitannya dengan bidang ilmu dan, teknologi. Oleh karena antara bahasa dan alam pemikiran manusia terdapat jalinan yang erat, maka keberhasilan dari pemoderenan itu sangat bergantung kepada corak alam pemikiran manusia Indonesia yang merupakan hasil sintesis antara nilai-nilai yang berakar pada kebudayaan etnis yang tradisional dan nilai-nilai bebudayaan yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Proses sintesis itu dipikirkan sebagai suatu proses yang mempertinggi potensi kreatif yang dapat menjelaskan suatu kebudayaan yang khas Indonesia.























BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dapat disimpullkan dari makalah ini, bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu. Bahasa melayu dipilih sebagai bahasa pemersatu (bahasa Indonesia) karena :
1. Bahasa melayu menjadi perwakilan karena bahasa melayu mewakili bahasa yang dipakai oleh kelompok kecil yang dibandingkan oleh kelompok besar seperti bahasa jawa. Hal ini untuk menghindari adanya tanggapan pengistimewaan yang berlebihan terhadap bahasa jawa.
2. Bahasa melayu lebih bersifat linguistik dan tidak memiliki tingkat tutur yang sulit.
3. Bahasa melayu mempunyai sejra sebagai “Lingua Frace” yang digunakan pada masa kerajaan sriwijaya mengalami kemajuan /masa kejayaan.
B.    Saran
Bahasa Indonesia yang kita ketahui sebagai mana dari penjelasan terdahulu memiliki banyak rintangan dan kendala untuk mewujudkan menjadi bahasa pemersatu, bahasa nasional, bahasa Indonesia. Sehingga kita sebagai generasi penerus mampu untuk membina, mempertahankan bahasa Indonesia ini, agar tidak mengalami kemerosotan dan diperguna dengan baik oleh pihak luar.















DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Muhsin, 1990. Sejarah Dan Standarisasi Bahasa Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Aripin Z.E,
 Alisjahbana, S. Takdir. 1957. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Arifin, E. Zaenal & Tasai, S. Amran. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Halim, Amran. 1971. Multilingualism in Relation to the Development of Bahasa Indonesia. RELC JUORNAL, Desember1971:4-19.
Lembaga Bahasa Nasional. 1974. Politik Bahasa Nasional: Laporan Praseminar 29-31 Oktober 1974. Jakarta
Rice Frank A, 1962. Study of  the Role of Second Languages in Asia, Afrika, and Latin America.Washington, D.C.: Center for Applied Linguistics, Modern Language Association of America.